Wayang Potehi di Museum Wayang, Jakarta |
Masyarakat
peranakan Tionghoa telah menjadi bagian tak terpisahkan dari bangsa Indonesia.
Kesenian tradisional Tionghoa pun ikut memberi warna dalam budaya nusantara.
Persenyawaan unsur budaya asal daratan Cina dengan karakter budaya lokal
menghadirkan keunikan tersendiri dalam tradisi yang berkembang dalam masyarakat
peranakan Tionghoa di Indonesia. Keunikan ini begitu kental terasa dalam seni
pertunjukan tradisional wayang potehi.
Wayang
potehi merupakan seni pertunjukan boneka tradisional asal Cina Selatan.
“Potehi” berasal dari akar kata “pou” (kain), “te” (kantong), dan “hi”
(wayang). Secara harfiah, bermakna wayang yang berbentuk kantong dari kain.
Wayang ini dimainkan menggunakan kelima jari. Tiga jari tengah mengendalikan
kepala, sementara ibu jari dan kelingking mengendalikan tangan sang wayang.
Diduga,
akar dari kesenian wayang potehi telah berkembang selama kurang lebih 3.000
tahun. Bukti-bukti sejarah yang lebih kuat menunjukkan eksistensinya di
Tionghoa telah ada sejak Dinasti Jin (265-420 M). Kesenian ini diperkirakan
masuk ke nusantara bersama ekspedisi perdagangan sekitar abad ke-16. Seni
wayang ini berkembang di berbagai daerah di Indonesia.
Kesenian
tradisional ini mengalami pasang dan surut sepanjang perjalanan sejarahnya di
bumi Indonesia. Di masa Presiden Soekarno, wayang potehi cukup populer di
tengah masyarakat. Tetapi pada awal era Orde Baru, seni wayang ini menghilang
dari kehidupan masyarakat. Pada masa itu, wayang potehi hanya dipertunjukkan di
kalangan terbatas saja. Kesenian ini mulai menggeliat di tengah semangat
kebebasan pada era reformasi. Wayang potehi mulai dipentaskan di berbagai
tempat, bahkan merambah ke pusat-pusat perbelanjaan, khususnya saat Tahun Baru
Imlek.
sumber: www.indonesiakaya.com